Malam menjelang hari pertama Ujian Akhir Nasional (UAN),
seorang siswa SMA meminta pendapat kepada penulis; ‘Pak, enaknya membeli
bocoran, apa ndak..ya ?Satu set soal beserta jawabannya, dua ratus ribu
rupiah…’. Sebagai seorang pendidik, mendengar hal itu terasa ‘nelangsa’.
Kenelangsaan yang berulang setiap tahunnya, termasuk ketika masih bernama
Ebtanas pelaksanaannya.
Bocornya perangkat uji kelulusan,
sekarang bernama UAN, tidak bisa dipungkiri, karena hal itu ada, sungguhpun
tidak terjadi di banyak tempat. Yang menjadi masalah bukanlah membuat orang
terutama kalangan pendidik menjadi percaya atau tidak percaya, melainkan
menelusuri dan menganalisa mengapa persoalan itu ada setiap tahunnya.
Mencari penyebab bocornya UAN,
tidak bisa perhatian melulu ditimpakan kepada pihak sekolah maupun petugas
piketnya. Bila dianalisa, ada beberapa pihak yang berkepentingan dalam hal ini.
Pertama, keberadaan bandar-bandar beserta kelompok-kelompok pengecernya. Mereka
boleh disebut investor, penyokong modal. Mereka eksis, tetap hidup layaknya
bandar judi. Pada momen menjelang kelulusan siswa, para bandar siap bergerak
mengerjakan agenda tahunannya, dengan mengatur jaringan dan segala akses yang
dimilikinya. Pekerjaannya rapi dan sulit tersentuh hukum. Bila ada yang
terjerat hukum, biasanya hanyalah pengecer atau oknum-oknum aksesnya.
Kedua, kelompok-kelompok siswa yang menunggu durian runtuh. Kelompok
seperti ini bertebaran dimana-mana, ada di tiap-tiap sekolah. Mereka yang
merasa kemampuan intelektualnya kurang, atau yang malas dan tidak termotivasi
di lingkungan sekolah, biasanya mempunyai kemampuan soal duit, dan telah rentan
serta parah menganggap segalanya dapat dibeli dengan uang, termasuk ilmu.
Mereka membentuk jaringan sendiri cukup rapi dengan alat-alat komunikasinya,
sehingga menjadi satu mata rantai dengan pengecer bocoran UAN.
Ketiga, oknum yang berhubungan
langsung dengan pembuatan, pendistribusian dan penyimpanan paket soal UAN.
Bujuk rayu dan iming-iming uang maupun harta terkadang mampu menggoyahkan
keteguhan iman oknum-oknum tersebut hingga terpikat, dan iapun menjadi salah
satu mata rantai kebocoran UAN.
Keempat, konsumen, yaitu mereka
yang mau membeli tawaran bocoran. Para siswa dan orang tua siswa yang
diposisikan sebagai konsumen menjadi sasaran pengecer maupun oleh kelompok
siswa yang menunggu durian runtuh. Bila usahanya berhasil, bagi pengecer
mendapatkan rupiah yang bisa disetorkan dan sebagian lagi sebagai upahnya. Bagi
kelompok siswa, bila mampu menjual, ia akan mendapatkan uang saku yang tak
terduga.
Menyikapi fenomena tersebut yang
berulang-ulang setiap tahunnya, kurang bijaksana kiranya bila langsung menuding
pihak sekolah sebagai biang keladinya. Ataupun langsung menyalahkan pihak
kepolisian yang tidak tanggap sebelumnya hingga kurang berhasil memberantasnya
sampai kini. Prestasi aparat yang berwenang dalam menanganimasalah itu sebatas
pada penangkapan oknum-oknum yang terlibat atau beberapa pengecer, belum mampu
memutus tuntas mata rantai sindikat kebocoran UAN.
Menjawab mengapa UAN bocor, ada
beberapa argumen yang dapat disampaikan; Pertama, masih ada kebutuhan sebagian
masyarakat akan jalan pintas, cara instan bagi siswa agar mudah melampauimomen
ujian akhir. Sikap ambil mudahnya itu bisa pas berpaut dengan sikap ambil
untungnya dari para sindikat bocoran ujian. Ibarat panci dengan tutupnya bisa
pas melekat. Kedua, tipe soal UAN yang masih pilihan ganda, memberi peluang
besar untuk bocor. Ddddengan jawaban yang hanya menulis pilihan A, B, C, D,
atau E konsumen mudah tergiur untuk menerima soal dan jawaban bocoran. Melalui
penghafalan atau teknik tertentu lainnya, mereka dimudahkan menjawab di ruang
uji. Akan beda masalahnya jika materi UAN berupa pertanyaan esai (uraian,
hitungan) terutama cara peserta ujian menyelesaikan soal-soal ujiannya. Ketiga,
semua pihak yang berwenang terkesan enggan belajar dari pengalaman. Kurangnya
antisipasi dan tindakan preventif untuk mencegah UAN bocor. Seyogyanya tidak
mudah terperosok ke dalam lubang yang sama, untuk kedua kali, benar-benar
diterapkan.
Setelah tahun ini, UAN mengalami
kebocoran, departemen terkait beserta jajarannya pantas berkreasi mencari
tindakan-tindakan preventif ditujukan untuk penyelamatan UAN tahun depan,
2011/2012. Belum terlambat pula untuk mengkaji ulang tipe soal UAN. Tetap
menggunakan pilihan ganda atau berani mengubah menjadi soal esai.
Tindakan represif bilamana perlu
diambil untuk meluluhlantakkan mata rantai sindikat kebocoran UAN oleh pihak
yang berwajib, secara terus menerus. Kewajiban masyarakat pula untuk mengembalikan
moral menuju tertib menuntut ilmu terutama bagi putra-putrinya. Keberanian
semua pihak untuk berubah, niscaya akan meningkat menuju ke budaya yang lebih
baik, meninggalkan budaya buruk :menunggu bocoran Ujian Akhir Nasional. Ataukah
dirasa tidak perlu, karena toh hanya terjadi setahun sekali ? Memang tak
sekedar ‘bocor’, ‘banjir’pun juga datang setahun sekali. Toh, kita juga belum
bertindak apa-apa.
0 komentar:
Posting Komentar