Rabu,28 november 2012
Penggulingan Pangeran Sihanouk di Kamboja ternyata tidak luput dari peran CIA. Bahkan yang lebih mengejutkan lagi Duta besar indonesia ikut andil di dalamnya.
“Kelompok sayap kanan di Phnom Penh telah mengail di air keruh selama
saya tidak berada di Kamboja. Mereka ingin agar Kamboja masuk dalam kubu
Amerika.” (Pangeran Norodom Sihanouk, 10 Maret 1970)
Pangeran Norodom Sihanouk wafat pada usia 89 tahun. Beliau bukan sekadar
dikenang sebagai raja Kamboja. Namun dia masuk dalam deretan para
pemimpin Asia yang masih tersisa, yang sempat mengalami dinamika Perang
Dingin pada 1950-an hingga akhir 1980-an. Sihanouk juga tercatat
sebagai salah satu kepala negara/pemerintahan Asia yang masuk dalam
target operasi badan intelijen Amerika Serikat CIA karena tidak mau
masuk dalam orbit pengaruh Washington, sehingga Sihanouk jadi sasaran
proganda hitam Amerika dan sekutu-sekutu baratnya sebagai agen Uni
Soviet dan Cina yang berhaluan komunis.
Padahal, seperti juga Bung Karno dari Indonesia, dan beberapa pemimpin
kawasan Asia lainnya, Sihanouk masuk dalam deretan para pemimpina Asia
da Afrika yang menginginkan terbentuknya “kekuatan ketiga” yang tidak
memihak kutub liberal kapitalis AS/Eropa Barat, dan juga tidak berhaluan
komunis yang waktu itu dimotori oleh Soviet dan Cina. Dengan kata lain,
Sihanouk termasuk yang berhaluan pendukung Gerakan Non Blok.
Alhasil, CIA kemudian menyusun skenario kudeta dengan bantuan para
perwira militer sayap kanan Kamboja yang dipimpin oleh Jenderal Lon Nol.
Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia, kisah kudeta terhadap
Sihanouk secara gamblang telah menggambarkan betapa dramatisnya plot
kudeta yang dirancang oleh Washington. Karena agenda besar AS di balik
penggulingan Sihanouk sebagai pemimpin Kamboja yang mengakar di kalangan
rakyat, adalah untuk meng-internasionalisasi perang Vietnam. Dan
Sihanouk, dipandang sebagai faktor yang bisa menghambat, bahkan
menggagalkan skenario Washington.
Karena sejak 1960, Sihanouk selalu berusaha keras mencegah meluasnya
perang Indocina, sehingga dengan sikapnya ini, Sihanouk menjadikan
dirinya sebagai pemimpin Kamboja yang bisa diterima oleh semua faksi,
termasuk kelompok sayap kiri. Para pihak yang melawan garis politik
Sihanouk adalah kelompok bisnis yang berhaluan sayap kanan dan faksi
fanatik anti komunis dari kelompok militer. Tentu saja sikap politik
luar negeri Sihanouk yang menentang meluasnya perang Indocina, dibaca
sebagai melawan skema Amerika yang justru ingin meluasnya eskalasi
perang Indocina. Dengan begitu, Sihanouk otomatis melawan skema
internasionalisasi perang Vietnam yang dilancarkan oleh Washington.
Perang Indocina memang sudah dilancarkan oleh Amerika sejak 1964, semasa
Presiden Lyndon B Johson. Yang kemudian diteruskan oleh Presiden
Richard Nixon pada 1968, hingga saat terjadinya kudeta terhadap Sihanouk
pada 18 Maet 1970.
Sekadar catatan sekilas. Sejak perang Indocina dilancarkan, Amerika
menggunakan Thailand dan Okinawa sebagai basis dan pusat kegiatan baik
operasi militer maupun operasi intelijen. Dalam operasi militer,
khususnya ketika melakukan pemboman terhadap Vietnam Selatan, Vietnam
Utara, Amerika menggunakan basis militernya di Thailand, Taiwan,
Okinawa, Hawaii, Filipina dan Guam.
Di Thailand ini pula, Amerika menggunakannya sebagai pangkalan militer
untuk menggempur kekuatan-kekuatan komunis di Kamboja. Maka ketika
pasukan udara Amerika mengebom Laos Utara dan Vietnam Utara, Thailand
merupakan pusat komando pengeboman yang digunakan oleh pasukan Amerika,
khususnya pangkalan militer yang bernama Udorn Air Base.
Sihanouk semakin memperlihatkan sikapnya yang terang-terangan menentang
kebijakan Washington untuk melawan komunis di Kamboja, ketika pada 1969
Pangeran yang flamboyant dan kawan akrab Bung Karno tersebut,
mati-matian mencegah Kamboja masuk ke dalam skema internasionalisasi
perang Vietnam, dan mengambil sikap netral dengan mempertahankan
keseimbangan politik di Kamboja. Inilah puncak kejengkelan Washinton,
yang akhirnya bermuara pada dukungan terbuka pada militer sayap kanan
pimpinan Jenderal Lon Nol untuk menggusur Sihanouk pada 18 Maret 1970.
Setelah Sihanouk berhasil digulingkan, praktis kawasan Indocina terjadi
destabilisasi. Pada satu pihak sayap kanan dukungan Amerika menguasai
dan mengambil-alih kendali politik, pada saat yang sama Sihanouk dan
para pendukungnya mau tidak mau harus berada dalam satu kubu dengan
berbagai elemen sayap kiri baik komunis maupun nasionalis kiri.
Sejak 18 Maret 1970 itulah, para pemimpin Khmer Merah yang berhaluan
kiri berhasil mengajak Sihanouk untuk bersekutu melawan imperialism
Amerika. Kalau dipikir-pikir sekarang, sunguh ironis bahwa konspirasi
sayap kanan dan militer Kamboja lah yang telah memaksa Sihanouk menjadi
satu kubu dengan Komunis. Dalam hal ini, komunis yang pro Beijing.
Sihanouk sendiri, sebagai politisi yang cukup berpengalaman meski waktu
itu masih berusia relatif muda, sudah merasa dirinya sedang jadi target
operasi CIA dan faksi sayap kanan Kamboja.
“Kelompok sayap kanan di Phnom Penh telah mengail di air keruh selama
saya tidak berada di Kamboja. Mereka ingin agar Kamboja masuk dalam kubu
Amerika,” begitu tutur Sihanouk yang ketika itu masih sedang mengadakan
lawatan ke Perancis. Bukan itu saja. Dalam sebuah jumpa pers, Sihanouk
menyatakan bahwa dalam beberapa waktu belakangan ini, telah diadakan
kontak intensif antara para perwira militer sayap kanan dan CIA.
Sekaligus mengingatkan adanya bahaya kudeta, dan semuanya tergantung
pada sikap dari militer.
Benar saja. Akhirnya Sihanouk tak bisa bertahan, karena Jenderal Lon Nol
yang mengendalikan angkatan bersenjata Kamboja sebagai Panglima
Militer, lebih berpihak pada Wakil Perdana Menteri Sirik Matak dan para
pengikut sayap kanannya. Dan Sirik Matak lah yang dalam penglihatan
Sihanouk, secara intensif menjalin kontak-kontak intensif dengan
kalangan kedutaan Amerika di Phnom Penh sejak kedubes tersebut dibuka
pada 1969.
Yang menarik dari jalinan kisah tergusurnya Sihanouk, adalah tentang
keterlibatan militer Indonesia yang ketika itu sudah berada dalam
kekuasaan Jenderal Suharto. Dan berhasil mendalangi kejatuhan Bung Karno
berkat bantuan CIA. Sebuah studi yang dilakukan oleh Julie Southwood
dan Petrcik Flanagan dalam bukunya yang bertajuk: Indonesia, Law,
Proganda and Terror, mengungkap adanya kedekatan Lon Nol dengan Suharto.
Sejak 1965, sekitar 2 bulan setelah Suharto berhasil mendalangi
penggulingan Bung Karno, sebuah tim para perwira militer Kamboja
diam-diam berkunjung ke Indonesia untuk mempelajari cara Suharto
menggulingkan Bung Karno.
Dari fakta yang diungkap dua peneliti tersebut, maka kunjungan dan studi
pihak militer Kamboja ke Indonesia, barang tentu pihak militer
Indonesia sudah tahu dari awal bakal adanya kudeta 18 Maret 1970
tersebut.
Yang lebih mengejutkan lagi, salah satu saluran penghubung antara
perwira militer Lon Nol dan pihak Amerika adalah kedutaan besar
Indonesia di Phnom Penh. Indonesia sepertinya punya tugas ganda: di satu
sisi memberikan nasehat kepada Lon Nol tentang siasat pertempuran, di
sisi lain memberikan laporan intelijen pertahanan kepada Amerika
mengenai rencana Lon Nol.
Jelas lah sudah. Jejak-jejak CIA dalam operasi rahasia penggulingan
Sihanouk tidak saja terlihat nyata di Kamboja, melainkan juga melibatkan
jaringan kaki tangannya di Indonesia dan Thailand.
Tak selamanya Amerika Serikat Berjaya.
Sejak 1975-1976, pasukan Khmer Merah yang didukung sepenuhnya oleh
Republik Rakyat Cina (RRC), akhirnya berhasil menaklukkan pasukan
militer sayap kanan Jenderal Lon Nol. Sehingga praktis Kamboja jatuh ke
tangan komunis yang berhaluan Beijing-Cina. Dan barang tentu, juga
mengusir tentara Amerika dari Kamboja. Dan Pangeran Sihanouk, yang
sejak digusur sebagai Raja maupun Kepala Pemerintahan, bermukim di
Beijing CIna, ironisnya justru berada dalam posisi yang mendukung
pemerintahan Khemer Merah yang dipimpin Pol Pot.
Namun, tragedi yang menimpa Pangeran Sihanouk sepertinya belum selesai
sampai di sini. Pada 1979, pada titik puncak kekejaman dan kelaliman
dari Rejim Khmer Merah pimpinan Pol Pot terhadap lawan lawan politiknya,
termasuk anggota keluarga besar Sihanouk di Phnom Penh, akhirnya faksi
lain di dalam tubuh Khmer Merah yang dipimpin Heng Samrinh, berhasil
menggulingkan Rejim Pol Pot dengan dukungan Uni Soviet dan Vietnam Utara
yang waktu juga sudah berhasil menggulingkan rejim militer sayap kanan
Nguyen van Thiu, yang tentunya secara otomatis juga mengusir tentara
Amerika dari bumi Vietnam. Situasi pasca penggusuran Rejim Pol Pot
tersebut sempat bikin Cina kebakaran jenggot. Karena dengan demikian,
pengaruh Cina di Kamboja telah bergeser ke tangan Soviet yang mendukung
gerakan Heng Samrinh.
Dalam situasi seperti itu, figur Sihanouk sebagai tokoh sentral Kamboja
dan epicentrum dari seluruh kekuatan politik Kamboja, nampaknya justru
semakin nyata. Dalam berbagai perundingan perdamaian dalam kerangka
rekonsiliasi seluruh kekuatan politik Kamboja pasca tergusurnya Rejim
Pol Pot, Sihanouk praktis merupakan tokoh kunci dan faktor penentu yang
diperhitungkan semua kekuatan politik di dalam negeri Kamboja, maupun
komunitas internasional.